Minggu, 06 Februari 2011

kimia "Antioksidan"

Antioksidan
Di dalam tubuh terdapat mekanisme antioksidan atau antiradikal bebas secara endogenik tetapi bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan antioksidan yang berasal dari sumber alami atau sintetik dari luar tubuh. Senyawa antioksidan ini akan menyerahkan satu atau lebih elektronnya kepada radikal bebas. Menurut Hudson (1990) defenisi antioksidan secara umum adalah suatu senyawa yang dapat memperlambat atau mencegah proses oksidasi
Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan non-enzimatis, masih dibagi dalam 2 kelompok lagi:
1. Antioksidan larut lemak, seperti α-tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin.
2. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Antioksidan primer (antioksidan endogen atau antioksidan enzimatis). Contohnya enzim superokside dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidant.
2. Antioksidan sekunder (antioksidan eksogen atau antioksidan non-enzimatis). Contoh antioksidan sekunder ialah vitamin E, vitamin C, β-karoten, isoflavon, asam urat, bilirubin, dan albumin. Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai penangkap radikal bebas (scavenger free radical), kemudian mencegah amplifikasi radikal.
3. Antioksidan tersier, misalnya enzim DNA-repair, metionin sulfoksida reduktase, yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh radikal bebas.
Pengelompokan antioksidan yang lain :
1. Kelas Antioksidan sesungguhnya, bekerja dengan cara menginaktivasi radikal-radikal bebas lipid. Contohnya : senyawa-senyawa Fenol.
2. Kelas Antioksidan Penstabil Hidroperoksida, Bekerja dengan cara mencegah dekomposisi hidroperoksida menjadi radikal bebas. Contohnya senyawa-senyawa fenol
3. Kelas Antioksidan Pensinergis, Bekerja dengan cara Meningkatkan aktivitas antioksidan sesungguhnya. Contohnya Asam sitrat dan Asam askorbat.
4. Kelas Antioksidan Pengkhelat Logam, Bekerja dengan cara mengikat logam berat menjadi senyawa inaktif. Contohnya Asam fosforat, senyawa Maillard dan Asam sitrat.
5. Kelas Antioksidan Peredam Oksigen Singlet, Bekerja dengan cara mengubah oksigen singlet menjadi oksigen triplet. Contohnya karoten-karoten.
6. Kelas Antioksidan dengan Bahan-bahan yang mereduksi hidroperoksida, Bekerja dengan cara Mereduksi hidroperoksida melalui jalur non-radikal. Contohnya protein-protein dan asam-asam amino.
Reaksi oksidasi dapat dicegah oleh bahan-bahan berikut:
1. Bahan pengkhelat, yaitu untuk ion-ion logam pencetus terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. EDTA dan asam sitrat paling sering digunakan.
2. Bahan pereduksi, yakni senyawa yang dapat mereduksi obat yang teroksidasi.
Natrium tiosulfat dan asam askorbat merupakan dua bahan yang dimanfaatkan untuk kemampuan ini.
3. Senyawa-senyawa yang mudah teroksidasi, yaitu berupa bahan yang mempunyai sifat lebih mudah teroksidasi dibanding obat yang dilindungi. Ada beberapa senyawa yang sangat lebih mudah teroksidasi dibanding senyawa yang dilindungi. Sesungguhnya bahan-bahan ini bertindak sebagai pembersih oksigen. Dua contoh pembersih oksigen yang baik dalam farmasi adalah natrium bisulfit (juga sulfit) dan asam askorbat.
4. Terminator rantai, yaitu suatu bahan yang dalam larutan mampu bereaksi dengan radikal, membentuk senyawa baru yang bersifat radikal terminator rantai, yang tidak lagi membuat pemasukan baru dalam siklus propagasi radikal. Radikal yang baru ini diharapkan akan bersifat stabil secara intrinsik atau mungkin berupa dimer untuk membentuk molekul yang inert. Sebagian besar antioksidan larut air yang dapat beraksi sebagai terminator rantai adalah spesies tiol, sistein, tiogliserol, asam tioglikolat, dan tiosorbital. Sesungguhnya seluruh antioksidan larut lemak beraksi sebagai terminator rantai. Contoh-contoh utama adalah askorbitil palmitat, hiroksianisol terbutilasi (BHA), hidroksi toluen terbutilasi (BHT), propil-gallat, dan asam nordihidroguaiaretik (NDGA).
Rujukan
Connois, Kenneth A., Amidon, Gordon L., dan Stella, Valentiono J. 1986. Stabilitas Kimia Sediaan Farmasi. Terj. Didik Gunawan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Pokorny, Jan, Yanishlieva, Nedyalka, dan Gordon, Michael. 2001. Antioxidants in Food. England, Abington Cambridge CB1 6AH, Abington Hall: Woodhead Publising Limited.
Praptiwi, Dewi, Puspa, dan Harapini Mindarti. 2006. Nilai Peroksida dan Aktivitas Antiradikal Bebas Diphenil Pycril Hydazil Hydrate (DPPH) Ekstrak Metanol Knema laurina. no. 17 (1) (2006). h. 33.
Winarsi, Hery. 2005. Isoflavon: Berbagai Sumber Sifat, dan Manfaatnya pada Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

kimi "Radikal Bebas"

Radikal Bebas

Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas (free radical) dan antioksidan. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Tampaknya, oksigen merupakan sesuatu yang paradoksal dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberikan energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaannya dapat berimplikasi pada berbagai penyakit dan kondisi degeneratif, seperti aging, artritis, kanker, dan lain-lain .
Menurut Soeatmaji (1998), yang dimaksud radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya.
Seringkali pengertian oksidan dan radikal bebas dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat. Kedua jenis senyawa ini juga memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda. Kemiripan sifat antara radikal bebas dan oksidan terletak pada agresivitas untuk menarik elektron di sekelilingnya. Berdasarkan sifat ini, radikal bebas dianggap sama dengan oksidan. Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah, tetapi perlu diketahui bahwa tidak setiap oksidan merupakan radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingakan dengan senyawa oksidan non-radikal. Hal ini berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut, yang mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila senyawa radikal baru tersebut bertemu dengan molekul lain, akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reactions).
Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Sebagai dampak kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi 3 kemungkinan:

1. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas.
2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas.
3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas.

Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh .
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas mirip dengan rancidity oxidative, yaitu melalui 3 tahapan reaksi berikut:

1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas.
Misalnya:
Fe++ + H2O2 → Fe+++ + OHˉ + •OH
R1-H + •OH → R1• + H2O
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.
R¬2-H + R1• → R¬2• + R1-H
R¬3-H + R¬2• → R¬3• + R¬2-H
3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.
R1• + R1• → R1- R1
R¬2• + R1• → R¬2- R1
R¬2• + R¬2• → R¬2- R¬2 dan seterusnya.
Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus-menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas. Misalnya, hidrogen peroksida (H2O2), ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species (ROS)
Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel. Akibatnya, dinding sel menjadi rapuh. Senyawa oksigen reaktif ini juga mampu merusak bagian dalam pembuluh darah sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis. Senyawa radikal bebas ini juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem informasi genetika, dan berlanjut pada pembentukan sel kanker. Jaringan lipid juga akan dirusak oleh senyawa radikal bebas sehingga terbentuk peroksida yang memicu munculnya penyakit degeneratif. Diplock (1991) berpendapat bahwa kerusakan molekul protein oleh senyawa oksigen reaktif akan menimbulkan penyakit katarak
Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA)
Rujukan
Winarsi, Hery. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Cet. I; Yogyakarta: Kanisius.

Sabtu, 05 Februari 2011

farmakologi "Penanganan Hewan Coba"

Penanganan Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan di laboratorium tak ternilai jasanya dalam penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta keamanan dan senyawa bioaktif. Hewan percobaan merupakan kunci di dalam pengembangan senyawa bioaktif dan usaha–usaha kesehatan.



Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Penelitian

Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri : umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
3. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses absorpsi terlebih dahulu kemudian

Sifat Fisiologi Yang Berpengaruh

1. Distribusi.
2. Absorpsi suatu senyawa bioaktif disamping ditentukan oleh sifat senyawa bioaktifnya sendiri juga ditentukan oleh sifat / keadaan daerah kontak mula oleh senyawa bioaktif dengan tubuh. Sifat–sifat fisiologis seperti jumlah suplai darah dan keadaan biokimia daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh menentukan proses absorpsi senyawa bioaktif yang bersangkutan. Jumlah senyawa bioaktif yang akan mencapai sasaran kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda.
Peranan Cara Pemberian
Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek senyawa bioaktif.
Penanganan Umum Beberapa Hewan Coba
Berbeda dengan bahan kimia yang merupakan bahan mati, percobaan dengan hewan percobaan yang hidup memerlukan perhatian dan penanganan / perlakuan yang khusus.
Mencit (Mus musculus)
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya
Cara Memegang mencit
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.

Cara Pemberian

1. Cara pemberian oral:
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian.
2. Cara pemberian intra peritoneal:
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang, kemudian jarum disuntikkkan dengan membentuk sudut 100 dengan abdomen pada bagian tepi abdomen dan tidak terlalu ke arah kepala untuk menghindari terkenanya kandung kemih dan hati.
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol dan telunjuk kemudian jarum ditusukkan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut.
4. Cara pemberian intramuskular:
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha.
5. Cara pemberian intravena:
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau dengan air hangat
Tikus Putih (Rattus norvegiens)
Tikus berukuran lebih besar daripada mencit dan lebih cerdas. Umumnya tikus putih ini tenang dan demikian mudah digarap. Tidak begitu bersifat fotofobik dan tidak begitu cenderung berkumpul sesamanya seperti mencit. Aktivitasnya tidak begitu terganggu oleh kehadiran manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan kasar atau mengalami defisiensi makanan, tikus akan menjadi galak dan sering dapat menyerang si pemegang.
Penanganan :
Seperti halnya pada mencit, tikus dapat ditangani dengan memegang ekornya dengan menarik ekornya, biarkan kaki tikus mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang), kemudian secara hati–hati luncurkan tangan kiri dari belakang ke arah kepalanya seperti pada mencit tetapi dengan kelima jari, kulit tengkuk dicengkeram, cara lain yaitu selipkan ibu jari dan telunjuk menjepit kaki kanan depan tikus sedangkan kaki kiri depan tikus di antara jari tengah dan jari manis. Dengan demikian tikus akan terpegang dengan kepalanya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Pemegangan tikus ini dilakukan dengan tangan kiri sehingga tangan kanan kita dapat melakukan perlakuan.
Pemberian Obat
Cara-cara pemberian oral, ip, sk, im, dan iv dapat dilakukan, seperti pada mencit. Penyuntikan secara iv dapat pula dilakukan pada vena penis tikus jantan dengan bantuan pembiusan hewan percobaan. Penyuntikan sk dapat dilakukan pula pada daerah kulit abdomen
Kelinci (Oryctolagus caniculus)
Kelinci jarang sekali bersuara kecuali bila dalam keadaan nyeri yang luar biasa. Kelinci cenderung berontak bila merasa terganggu. Kelinci hendaklah diperlakukan dengan halus namun sigap karena ia cenderung berontak. Hewan ini dapat ditangkap dengan memegang kulit pada tengkuknya dengan tangan kiri kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan ke badan.
Penanganan
Untuk perlakuan tertentu dapat digunakan kotak / kandang individual kelinci yang dapat menjaga kelinci agar tak dapat banyak bergerak (restriction box).
Cara Pemberian Obat
1. Cara pemberian oral:
Dalam cara pemberian oral pada kelinci digunakan alat penahan terbukanya mulut dan pipa lambung. Alat suntik dihubungkan dengan pipa lambung (dapat digunakan slang yang lunak dengan ukuran sesuai), pipa lambung dimasukkan ke dalam kemudian diluncurkan ke dalam esophagus secara perlahan-lahan
2. Cara pemberian subkutan:
Cara pemberian ini dilakukan di bawah kulit di daerah tengkuk atau daerah sisi pinggang. Cara pemberian dilakukan dengan mengangkat kulit dan kemudian jarum ditusukkan ke bawah kulit.
3. Cara pemberian intravena:
Dilakukan pada vena marginalis telinga dan penyuntikan dilakukan pada daerah dekat ujung telinga. Untuk memperluas (mendilatasi vena), telinga diulas terlebih dahulu dengan air hangat atau alkohol. Pencukuran bulu bila perlu dapat dilakukan terutama pada hewan yang berwarna bulunya.
Marmot (Cavia porcellus)
Marmot sebenarnya jinak dan mudah diperlakukan. Marmot dipegang dengan mengangkat badannya dengan kedua tangan.
1. Cara pemberian oral:
Pemberian oral kepada marmot dapat dilakukan dengan pipa lambung dengan bantuan hewan dianestetik lemah terlebih dahulu.
2. Cara pemberian intra pertoneal:
Penyuntikan dilakukan pada daerah perut agak ke kanan dari daerah garis tengah dan di atas tulang kematian.
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah tengkuk: kulit dicubit kemudian jarum disuntikkan ke bawah kulit.
4. Cara pemberian intra pertoneal
Kelinci dipegang menggantung pada kaki belakangnya sehingga perut maju ke depan. Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah garis tengah di muka kandung kemih.
5. Cara pemberian intramuskular:
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot paha kaki belakang.
6. Cara pemberian intravena:
Pada marmot cara ini jarang digunakan. Penyuntikan dapat digunakan pada vena marginalis dengan jarum yang halus dan pendek (cara ini dapat dilakukan untuk marmot yang cukup besar) atau pada vena pada bagian paha dengan bantuan anestetik terlebih dahulu atau pada vena penis dengan bantuan anestetik.
7. Pada tiap cara pemberian ini kecuali oral, pembersihan dengan antiseptik pada daerah penyuntikan perlu dilakukan pada sebelum penyuntikan dan setelah penyuntikan perlu dilakukan. Jumlah volume penyuntikan dari tiap cara pemberian dan pada berbagai hewan percobaan berbeda-beda. Dalam tabel pertama terlampir dicantumkan volume maksimum pemberian yang dapat

Bobot Badan hewan Coba yang Digunakan
Di dalam penggunaan, hewan percobaan yang digunakan dapat berdasarkan kriteria bobot badannya di samping usianya. Farmakope Indonesia edisi III-1979 mengemukakan kriteria bobot beberapa hewan percobaan yang digunakan dalam uji hayati.
Mencit : 17-25 gram
Kelinci : 15-20 kg
Tikus : 150-200 gram
Kucing : tidak kurang lima kg
Marmot : 300-500 gram
Merpati : 100-200 gram

CARA MENGORBANKAN HEWAN PERCOBAAN

1. Pengorbanan hewan sering diperlakukan apabila keadaan rasa sakit yang hebat atau lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan.
2. Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu dilakukan sedemikian sehingga hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan dari pengorbanan hewan percobaan dalam rangkaian percobaan.
3. Cara pengorbanan hewan lain adalah dengan menggunakan gas karbondioksida dalam wadah khusus atau dengan pemberian pentobarbital natrium pada takaran letalnya.
ANESTESI PADA BEBERAPA HEWAN PERCOBAAN
Perlakuan anestesi terhadap hewan percobaan kadang kala diperlakukan untuk memudahkan cara pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena penis tikus) dan untuk percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran tekanan darah insitu pada karotid hewan dengan manometer condon. Umumnya anestesi hewan percobaan dapat dilakukan dengan pemberian uretan sebesar 1,2 gram/kg bobot badan yang diberikan secara intra peritoneal

DAFTAR PUSTAKA

Malole, M.M.B, Pramono, C.S.U., (1989), “ Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium”, Penelaah Maskudi Pertadireja, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor.
Thomson, E.B, 1985, Grug Bloscreening, Fundamentals of Drug Evaluation Techniques in Pharmacology, Graceway Publishing Company, inc, New York.

farmakologi "Peranan Hewan Coba"

Peranan Hewan Coba

Pendahuluan

Pengujian senyawa-senyawa organik sintetis maupun senyawa-senyawa alami banyak dilakukan dalam skala besar, yang dilakukan di laboratorium-laboratorium farmakologi berbagai perusahaan maupun di universitas-universitas-universitas. Tujuan utama dari pengujian ini adalah untuk menemukan senyawa baru yang memiliki aktivitas farmakologik. Di perusahaan-perusahaan, departemen-departemen riset mencari bahan farmasi yang baru dan lebih poten. Tahap selanjutnya, setelah mengisolasi zat uji, adalah prosedur penapisan (screening). Sedangkan pengujian yang dilakukan di universitas tidak selalu diarahkan untuk menemukan bahan farmasi yang baru, tetapi bisa diarahkan untuk menemukan zat yang menunjukkan aktivitas biologik yang menarik, yang dapat membantu dalam memahami efek fisiologis.
Berbagai metode penapisan yang dapat dilakukan terhadap serangkaian senyawa yang dapat memberikan aktivitas farmakologi.
Pengertian Hewan Coba
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk digunakan sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik.
Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, zoologi komparatif, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang kedokteran, selain untuk penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan untuk keperluan diagnostika. Sedangkan dalam bidang pendidikan dan psikologi, hewan laboratorium digunakan untuk pengamatan tingkah laku hewan dalam rangkaian pendidikan di tingkat dasar, menengah dan tinggi; khusunya bagi tingkat balita, hewan laboratorium digunakan untuk menguji tingkat kecerdasan anak.
Penggunaan hewan hidup sebagai hewan percobaan baik untuk penelitian maupun diagnostika senantiasa mengundang dua pendapat antara pro dan kontra. Kelompok yang pro jelas datang dari para ilmuwan pengguna hewan percobaan itu, sedangkan yang kontra adalah orang-orang yang termasuk penyayang binatang.

Beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok kontra antara lain :
1. Hewan diternakkan guna kepentingan manusia, sebagai hewan produksi, untuk pengadaan bahan makanan protein hewani. Tak seorangpun yang berhak menyakiti hewan, kecuali untuk kesejahteraan hewan itu sendiri, misalnya tindakan pengobatan hewan dengan cara operasi.
2. Banyak eksperimen yang menggunakan hewan laboratorium, hasilnya mubasir. Hasil penelitian yang baik untuk terapan pada hewan percobaan tidak selalu relevan bila diterapkan pada manusia.
3. Sesungguhnya dapat dicari akal untuk menggunakan alternatif teknik lain dalam penelitian, sehingga percobaan dengan hewan dapat dihindari. Hal ini perlu, sebab setiap perlakukan pada hewan percobaan dalam penelitian, berat atau ringan, akan menimbulkan rasa sakit pada hewan.

Sebagai reaksi, kelompok ilmuwan atau pengguna hewan laboratorium juga mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
1. Kebanyakan jenis hewan yang digunakan tidak termasuk ke dalam kelompok hewan ternak atau hewan produksi.
2. Teknologi yang berkaitan dengan aktivitas biologik untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia tidak mungkin dilakukan langsung pada manusia, tetapi diawali dengan penelitian-penelitian pada hewan percobaan. Yang jelas, hewan percobaan digunakan dalam eksperimen semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia.
3. Dalam memperlakukan hewan percobaan dalam penelitian, para ilmuwan selalu berusaha menggunakan teknik yang seminimal mungkin menimbulkan rasa sakit pada hewan percobaan.
4. Penggunaan hewan hidup dalam penelitian akan tetap dilakukan oleh para ilmuwan sejauh menurut pendapat mereka, pengamatan tidak mungkin ditempuh dengan cara lain.
Pemanfaatan hewan percobaan demi pengembangan ilmu dan teknologi semakin meningkat, baik dalam pengadaan jumlah, ras, maupun kondisi hewan. Sejalan dengan hal itu, meningkat pula teknik dalam tatalaksana peternakan dan pengembangbiakan, serta cara-cara perlakuan dan penanganan hewan percobaan, sehingga tujuan pemanfaatan dapat tercapai semaksimal mungkin, dengan seminimal mungkin membuat hewan menderita.

Penggunaan Hewan Coba

Pemanfaatan hewan percobaan menurut pengertian secara umum adalah untuk penelitian yang mendasarkan pengamatan aktivitas biologik. Berdasarkan pada bidang ilmu yang dibina dan lingkungan tempat bernaungnya laboratorium, maka pemanfaatan hewan percobaan akan mengarah kepada suatu tujuan yang khusus.
Laboratorium yang bernaung di dalam universitas mengutamakan penggunaan hewan percobaan dalam penelitian murni yang menyangkut aktivitas biologik. Laboratorium yang berada di lingkungan industri cenderung menggunakan hewan percobaan untuk pengujian mutu hasil produksinya, sedangkan laboratorium klinik menggunakannya untuk keperluan diagnosis.


BIDANG TOKSIKOLOGI

Suatu bahan kimia sering ditambahkan pada makanan hewan dan manusia untuk tujuan memberi warna yang menarik dan aroma, atau obat untuk pencegahan penyakit dan pengawet. Agar bahan kimia tersebut tidak membahayakan konsumen, maka perlu dilakukan pengujian toksikologik melalui hewan percobaan.
Pengujian toksikologik dengan menggunakan hewan percobaan yang dilakukan di lingkungan industri bertujuan agar bahan bahan kimia yang ditambahkan pada makanan tepat dalam arti aman bagi konsumen, daya kerja efektif dan masih memberi keuntungan bagi perusahaan.
Di bidang kedokteran, uji toksilogi dilakukan untuk penegakan diagnosis pada kejadian keracunan makanan oleh bahan kimia atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Selain itu, pengujian juga dilakukan untuk pengawasan pencemaran pestisida pada bahan makanan maupun lingkungan.
Karena tujuan akhir dari uji toksikologi ini adalah untuk keselamatan manusia, maka hewan percobaan yang dipilih mempunyai sifat-sifat respon biologik dan adaptasi yang mendekati manusia. Kesamaan filogeni antara manusia dan primata mendorong para ilmuwan untuk memilih primata sebagai model. Akan tetapi karena pengadaannya tidak selalu lancar, serta pemeliharaannya yang cukup mahal, maka tikus putih dapat dipilih sebagai alternatif.
Alternatif lain adalah penggunaan anjing, mengingat anjing hidup di lingkungan manusia dan makanannya sama dengan makanan manusia. Anjing yang digunakan tentunya bukan yang sedang dipelihara, tetapi merupakan anjing yang tak bertujuan atau sedang dibuang oleh pemiliknya.
Thalidomit adalah obat yang dikenal membahayakan bila diminum oleh wanita hamil karena dapat melahirkan anak cacat (teratogenesisi). Untuk membuktikan hal ini digunakan kelinci yang sedang bunting.

BIDANG PATOLOGI

Ahli patologi menggunakan hewan percobaan terutama untuk meneliti atau mengamati adanya perubahan patologik jaringan tubuh yang disebabkan oleh :
1. terjadinya kontak antarspesies (infeksi mikroorganisme pada hewan atau manusia)
2. stress karena faktor lingkungan (suhu, kelembaban, sanitasi, dll)
3. keracunan makanan
4. defisiensi makanan
Selain itu hewan percobaan juga digunakan dalam penelitian kanker, determinasi penyakit berdasarkan perubahan jaringan dan organ tubuh yang terjadi setelah hewan percobaan mendapatkan perlakuan

DIAGNOSIS

Beberapa contoh hewan percobaan dan kegunaannya dalam diagnosis antara lain :
1. Mencit : penyakit yang disebabkan oleh enterbacteriaceae, antraks, pasteurellosis, dan rabies
2. Marmut : TBC tipe human, brucellosis, antraks, radang paha, edema malignan, penyakit yang disebabkan oleh ricketsia
3. Kelinci : TBC tipe bovine dan pasteurellosis
4. Tikus putih : leptospirosis
5. Hamster : leptospirosis dan lepra

Pengguna Hewan Coba

Pengguna hewan percobaan dikelompokkan menurut ketentuan jumlah dan proporsi tiap spesies yang digunakan :
1. Laboratorium Rumah Sakit dan Kesehatan Masyarakat
Jumlah hewan yang digunakan tidak besar tetapi jumlah keperluan relatif tetap dan variasi spesies tidak banyak. Hewan yang digunakan terutama marmut, kadang mencit dan kelinci.
2. Laboratorium Industri Farmasi
Menggunakan tikus atau mencit dalam jumlah besar untuk keperluan penelitian dan pengembangan. Anjing dan tikus digunakan untuk uji toksisitas, diperlukan dalam jumlah yang tidak besar tetapi konstan. Berbagai spesies lain juga sekali-sekali digunakan, untuk keperluan penelitian dasar, tetapi jumlahnya tidak banyak.
3. Laboratorium Penelitian Kanker
Diperlukan mencit dalam jumlah besar dan tetap, dan secara tidak tetap digunakan spesies lainnya
4. Laboratorium dalam Universitas dan Lembaga Penelitian
Jumlah dan jenis hewan percobaan yang digunakan tidak tetap. Proporsi tiap jenis hewan tidak ditentukan. Penggunaan hewan percobaan di universitas dan lembaga penelitian sangat bergantung pada biaya dan hubungan kerja sama dengan disiplin lain.
Pengujian Farmakologi pada Hewan Coba
Suatu senyawa yang baru ditemukan, baik hasil isolasi maupun sintetik, terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah maupun pada hewan utuh (uji praklinik). Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa yang lolos uji ini akan diteliti lebih lanjut.
Sebelum calon obat baru ini dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan percobaan. Dalam studi farmakokinetik, tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa maupun metabolitnya dalam cairan biologis. Semuanya itu diperlukan untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia.

Studi farmakologi toksikologi pada hewan (uji praklinik) umumnya dilakukan dalam 3 tahap, masing-masing pada 2 atau 3 spesies hewan percobaan.
a. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut bertujuan untuk mencari besarnya dosis tunggal yang mematikan 50% dari sekelompok hewan coba (LD50). Pada tahap ini sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan tersebut
b. Uji Toksisitas Kronik
Uji ini bertujuan meneliti efek toksik pada hewan percobaan setelah pemberian senyawa secara teratur dalam jangka panjang dan dengan cara pemberian seperti pada pasien kelak. Lama pemberian bergantung pada lama pemakaian nantinya pada penderita
c. Uji Toksisitas Khusus
Uji toksisitas khusus meliputi penelitian terhadap sistem reproduksi termasuk teratogenisitas, karsinogenisitas, mutagenisitas, dan uji uji ketergantungan.
Walaupun farmakologi toksikologi pada hewan memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentunya menimbulkan perbedaan jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi, dan fisiologi. Oleh karena itu, untuk mempertegas efek obat pada manusia, baik efek terapi maupun nonterapi, perlu dilakukan pengujian langsung pada manusia dalam uji klinik.

farmaklogi "Pemeliharaan Hewan Percobaan"

Pemeliharaan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan untuk percobaan adalah hewan yang sehat, karena hanya dari hewan yang sehat dapat diharapkan produksi yang optimal dan layak digunakan sebagai hewan percobaan. Pemeliharaan kesehatan hewan percobaan merupakan kombinasi antara usaha pencegahan penyakit dan pengobatan hewan yang sakit. Penyakit-penyakit yang berbahaya bagi hewan percobaan lebih mudah dicegah daripada diobati.

CARA PEMELIHARAAN

a.Kandang

Bangunan untuk kandang harus direncanakan dengan baik sehingga memberikan kenyamanan hidup bagi hewan, hal yang harus diperhatikan adalah sbb :
1.Kandang harus cocok untuk masing-masing spesies hewan
2.tidak mempunyai permukaan yang tajam dan kasar sehingga tidak melukai hewan
3.mudah dibersihkan
4.mudah diperbaiki
5.tidak mudah rusak oleh hewan yang dikandangkan atau hewan pemangsa dari luar
6.cukup luas agar hewan dapat bergerak leluasa untuk mencari makanan dan berbiak
7.Bangunan kandang harus cukup terang
8.mendapat air bersih
9.mudah dibersihkan
10.kering
11.dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah dan cukup ventilasi
12.Kayu yang tidak dicat serta bahan-bahan lain yang bersifat mengisap air tidak boleh dipakai untuk bangunan kandang
13.Hewan dalam kandang akan merasa nyaman bila kandangnya kering, bersih, tidak ribut
14.Suhu antara 18 – 29 ºC (rata-rata 20 – 22 ºC)
15.kelembaban relatif antara 30 – 70%
16.sinar antara 800 – 1300 lumaen/m2
17.pertukaran udara minimum 10 kali/jam
18.Alas kandang harus diganti 1 – 3 kali dalam seminggu untuk menjamin kandang selalu kering dan bebas dari gas amoniak yang merangsang selaput lendir sehingga hewan tidak mudah terserang penyakit salurang pernapasan
19.Peningkatan kadar amoniak dalam kandang dapat dicegah dengan ventilasi yang baik, selalu bersih, dan menghindari penimbunan feses serta urin dalam kandang.
20.Hewan yang berbeda spesies ditempatkan dalam kandang yang berbeda.
21.Hewan yang sakit harus segera dipisahkan dalam kandang karantina untuk mencegah penularan atau perluasan penyakit tersebut pada hewan yang sehat.


b.Makanan

1.Hewan percobaan membutuhkan makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup, segar, dan bersih.
2.Minuman harus selalu bersih dan disediakan dalam jumlah yang tidak terbatas.
3.Makanan harus disimpan dalam tempat yang bersih dan kering untuk mencegah pencemaran oleh cendawan dan kutu-kutu makanan.
4.Pemberian makanan yang bermutu merupakan bagian terpenting dalam usaha menghasilkan hewan percobaan yang sehat.

Faktor makanan penting terutama pada penelitian yang menggunakan hewan percobaan dalam waktu panjang, karena defisiensi beberapa zat dalam makanan akan mempengaruhi hasil percobaan. Oleh karena itu hewan laboratorium yang tidak digunakan dalam penelitian tentang makanan harus diberi makanan berkualitas baik untuk menjamin tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan yang normal. Ketidakseimbangan gizi dalam makanan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, misalnya pertumbuhan lambat, peka terhadap penyakit, bulu atau rambut rontok, kematian anak prenatal, berkurangnya produksi air susu, infertil, anemia, kelainan bentuk tulang, kelainan jaringan saraf, kesulitan bergerak, dan lain-lain.

c.Pemberian Tanda

Hewan percobaan harus diberi tanda secara baik dan jelas. Ada berbagai cara identifikasi, misalnya :
1.pemberian kartu pada kotak kandang,
2.berdasarkan warna bulu,
3.pembuatan lubang atau guntingan pada daun telinga (tikus dan hamster),
4.cincin pada jari kaki,
5.pemberian zat warna pada bagian kulit yang putih, dan lain-lain.
6.Biasanya pemberian tanda pada kotak disertai dengan tanda yang permanen pada hewan sendiri karena hewan dapat dengan mudah berpindah tempat, misalnya pada saat pembersihan kandang.

d. Pencegahan penyakit

Sejumlah faktor organik dan lingkungan dapat meningkatkan resiko kontak dengan agen penyakit dan menurunkan daya tahan tubuh hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan dalam usaha pencegahan penyakit. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan hewan percobaan terhadap penyakit antara lain faktor lingkungan, faktor genetik, faktor metabolisme, faktor perlakuan dan faktor makanan.
Faktor lingkungan :
- iklim yang ekstrim
- perubahan iklim
- kurang ventilasi
- kadar amoniak tinggi
- terlalu kering atau terlalu lembab
- pergantian personil
- terlalu sesak dalam kandang
- alas kandang kurang baik (kasar, kotor, basah)
- hirarki sosial dalam kelompok hewan
- intensitas cahaya
- penimbunan kotoran di dalam dan di sekitar kandang
- gangguan dari hewan pemangsa

Faktor genetik
- perbedaan jenis kelamin
- kelemahan yang diturunkan dari induk
- perbedaan galur
- kelainan bawaan
- imunodefisiensi

Faktor metabolisme
- umur
- kegemukan
- kurang gizi
- kurang gerak
- laktasi
- kebuntingan
- stress

Faktor perlakuan
- hewan terikat/terkurung
- operasi
- pengaruh obat-obatan
- induksi tumor
- akibat radiasi
- inokulasi agen penyakit
- pengambilan darah

Faktor makanan
- kurang makanan dan air
- makanan busuk
- makanan terkontaminasi jamur, bakteri, toksin
- kualitas makanan rendah, kurang nutrisi

SANITASI LINGKUNGAN DAN DESINFEKSI

Sanitasi merupakan kunci keberhasilan dalam pemeliharaan hewan percobaan. Kandang bersih terutama penting selama hewan bunting, sedang menyusui, dan sebelum memasukkan hewan baru. Kandang bekas ditempati hewan sakit harus disterilkan sebelum digunakan untuk hewan sehat.
Pembersihan kandang sebaiknya dimulai dengan menggunakan air bersih dan sikat untuk menghilangkan sisa-sisa alas kandang, sisa makanan, feses, urin dan lain-lain. Langkah ini penting karena sisa-sisa bahan organik akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Di samping itu bahan organik dapat menghambat daya kerja desinfektan. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air panas bersuhu 80 – 90 ºC selama 3 menit atau larutan desinfektan, seperti senyawa fenol atau amonium kuartener. Sisa sabun atau desinfektan dibersihkan untuk mencegah keracunan pada hewan. Beberapa desinfektan harus dihindari penggunaannya pada bahan plastik karena dapat menyebabkan kekaburan pada plastik yang transparan.
Perlu juga diingat bahwa tidak semua mikroorganisme peka terhadap desinfektan, misalnya spora bakteri. Virus dan jamur juga mempelihatkan kepekaan yang berbeda-beda terhadap desinfektan.
Desinfektan yang mengadung halogen seperti hipoklorit dan iodofor terutama efektif dalam larutan asam, tetapi dapat merusak pakaian dan aktivitasnya berkurang dalam larutan yang mengandung bahan organik sabun atau sisa-sisa deterjen. Desinfektan yang baik, praktis dan aman untuk kandang hewan misalnya campuran 30 ml Natrium hipoklorit 5% dalam satu liter air. Campuran ini harus dibuat segera sebelum digunakan. Derivat fenol paling sedikit dipengaruhi oleh bahan anorganik dan dapat membunuh bentuk vegetatif gram positif maupun gram negatif (kecuali Pseudomonas yang membutuhkan kontak lebih lama dengan konsentrasi yang lebih tinggi). Emulsi senyawa fenol 1 – 5 % dalam air yang sedikit asam dan bersabun memiliki kemampuan membunuh jamur, spora bakteri, dan virus. Karena residu bau dan racun, maka derivat fenol tidak digunakan untuk desinfeksi tempat makanan dan minuman hewan.
Senyawa amonium kuartener efektif terhadap kuman gram negatif tetapi kurang efektif bila terdapat bahan organik, sabun, dan pada pH asam. Senyawa ini digunakan untuk desinfeksi secara umum dan terutama untuk tempat makanan dan minuman. Namun residunya pada kandang dapat menyebabkan kematian pada kelinci yang sedang menyusu.
Bahan desinfektan lainnya yang dapat digunakan serta telah terbukti memberikan hasil yang baik antara lain NaOH 2%, formalin, gas etilen dioksida dan larutan amoniak 10%.
Urin kelinci, marmut, dan hamster bersifat basa dan mengandung kristal kristal fosfat dan karbonat. Bila kristal tersebut mengendap pada kandang maka akan terbentuk kerak yang sulit dibersihkan.
Untuk membersihkan kandang dari bulu-bulu dan kotoran lain dapat dilakukan pembakaran yang pada umumnya lebih murah.
Fumigasi menggunakan gas formaldehid, bila didahului dengan pembersihan secara mekanis, merupakan cara yang efektif untuk membasmi parasit dan bakteri ventuk vegetatif. Sebelum fumigasi dilakukan, ruangan kandang harus dikosongkan dari hewan lalu ditutup kedap udara, suhu dibuat di atas 21 ºC dan dibasahi agar kelembaban relatif mencapai 80 % atau lebih. Gas formaldehid dapat diperoleh dengan cara memanaskan kristal p-formaldehid.

Referensi :
Malole, M.B.M. & Pramono, C.S.U., 1989, Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor, 31 – 37.

Farmakologi "Metode yang digunakan dalam Ilmu Anatomi fisiologi Manusia (FAAL)"

Metode yang digunakan dalam Ilmu Anatomi fisiologi Manusia (FAAL)
FISIOLOGI ADALAH ILMU YANG MEMPELAJARI PERAN ATAU FUNGSI ALAT TUBUH DARI SUATU MAKHLUK HIDUP. UNTUK ITU PERLU MENGETAHUI PROSES YANG TERJADI DI DALAM ALAT TUBUH.
Metode ilmu faal
1.Metode observasi
Mengamati aktivitas dan perubahan yang terjadi di dalam suatu alat tubuh karena pengaruh berbagai keadaan lingkungan.
2.Metode analisis kimia
Menganalisa secara kimia substansi yang diperlukan dan juga substansi yang dihasilkan oleh hewan.
3.Metode pengamatan secara mikroskopik
Mengamati dengan menggunakan mikroskop struktur suatu sel baik dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif
4.Metode perfusi
Merupakan suatu cara dimana seluruh bagian dari suatu alat tubuh dan larutan nutrisi atau darah dialirkan dengan sirkulasi buatan ke alat tubuh tersebut.
5.Metode kultur jaringan
Dengan mengamati pertumbuhan sel yang telah diambil dari tubuh dan ditempatkan dalam kultur medium.
6.Metode penyuntikan
yaitu dengan menyuntikkan suatu substansi kedalam tubuh untuk mengetahui pengaruh substansi tersebut terhadap tubuh
7.Metode pencakokan
Dengan memindahkan suatu jaringan dari satu bagian tubuh hewan ke bagian tubuh hewan yang lain
8.Metode pencatatan
suatu teknik untuk memperoleh grafik dari aktivitas alat-alat tubuh.